opini,  Uncategorized

Kedudukan Wanita dalam Islam Bagian 2

Cover Buku

Perempuan Sebagai Ibu

Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa hubungan pertama kali seorang manusia adalah dengan ibunya selama kehamilan dan Islam merupakan dien yang sempurna dimana setiap muslim diajarkan untuk menghormati ibu dan berungkali memuji perempuan. Perintah tersebut datang setelah perintah untuk beribadah dan meyakini keesaan Allah. Berikut adalah firman Allah SWT dan hadits Nabi tentang Ibu.

“Dan Kami Perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tua-nya. lbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (Q.S. Luqman: 14)

Dan Kami Perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa,“Ya Tuhan-ku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau Limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau Ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang Muslim.” (Q.S. Al Ahqaf: 15)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW bertanya, “Siapakah yang paling aku hormati? Nabi Bersabda, ”Ibumu” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Nabi menjawab, ”Ibumu” Laki-laki itu bertanya kembali. “Lalu siapa?” Nabi menjawab, ”Ibumu” Laki-laki itu bertanya, “Lalu siapa?” Nabi menjawab, “Bapakmu”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, al Lu’lu wal marjan (1652).

Al Bazzar meriwayatkan tentang seorang laki-laki yang bertawaf di Ka’bah sambil menggendong ibunya. Nabi SAW bertanya kepadanya, “Sudah bisakah kamu membalas kebaikannya?” Laki-laki itu menjwab, ”Tidak, meski hanya untuk satu erangannya (ketika bekerja, melahirkan dan sebagainya).

Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai utusan Allah, aku ingin bertempur dan aku menginginkan nasihatmu.” Nabi bertanya, ”Apakah kamu masih mempunyai ibu?” Laki-laki itu menjawab, “Ya”. Nabi berkata, “Jangan tinggalkan dia karena surga ada di bawah telapak kakinya.” (HR An Nasaai 6:11, Ibnu Majah 1:278, dan Al Hakim. Diperbaiki daan disetujjui oleh Ad Dhahaby 4:151, dari Muawiyyah bin Jammah)

Seorang laki-laki mendekati Nabi SAW dan berkata, “Aku telah melakukan pelanggaran, dapatkah aku menebusnya?” Nabi bertanya, “Apakah kamu punya ibu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak” Nabi bertanya, “Apakah kamu mempunyai bibi yang mengasuhmu” Laki-laki itu menjawab, “Ya” Nabi SAW bersabda, “Berbuat baiklah padanya!” (HR Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Ihsan dan Al Hakim).

Asma binti Abu Bakar bertanya kepada Nabi SAW tentang hubungannya dengan ibunya yang kafir yang datang kepadanya. Nabi SAW bersabda, “Ya, berbuat baiklah kepada ibumu!”  (HR Muttafaqun alaih)

Abdullah bin Amru bin al-As meriwayatkan bahwa seorang perempuan mengadu, “Wahai utusan Allah, anak laki-lakiku telah mengisi wadah rahimku, minum dari susuku, duduk di pangkuanku. Bapaknya telah mengambilnya dariku.” Nabi SAW bersabda, “Kamu lebih berhak jika kamu tidak menikah.” (HR Ahmad dan Abu Daud)

Yusuf Qardhawi juga memberikan contoh teladan ibu yang terdapat dalam Al Qur’an yakni sebagai berikut.

  • Ibunda Nabi Musa

“Dan Kami Ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke Sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan Mengembalikannya kepadamu, dan Menjadikannya salah seorang rasul.” (Q.S. Al Qashas: 7)

    null
  • Ibunda Maryam (Hana)

“(Ingatlah), ketika istri ‘Imran berkata, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku bernazar kepada- Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhan-ku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih Tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. “Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlin-dungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk.“ (Q.S. Ali Imran 35-36)

  • Maryam

“Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami Tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (Ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhan-nya dan kitab -kitab-Nya; dan dia termasuk orang-orang yang taat.” (Q. S. At Tahrim: 12).

Perempuan sebagai Anak

Anak perempuan di masa sebelum Islam ketika lahir diperbolehkan untuk dikubur hidup-hidup (Q.S. At Takwir : 8-9) dan dalam Q.S. An Nahl: 58-59 digambarkan bagaimana keadaan para bapak ketika istrinya melahirkan anak perempuan yakni “hitamlah wajahnya” dalam bahasa Indonesia mungkin bisa disebut “merah padam”. Tradisi lainnya menurut Yusuf Qardhawi adalah seorang bapak mempunyai hak untuk menjual putrinya atau menyerahkan meski ada kemungkinan terbunuh. Dan kemudian Islam membawa cahaya menghapuskan masa kelam jahiliyah tersebut dengan diturunkannya Q.S. Asy Syura: 49-50. Al Qur’an juga memberikan teladan melalui kisah lahirnya Maryam (Q.S. Ali Imran: 35). Al Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa menentang orang-orang yang membunuh anak-anaknya baik laki maupun perempuan (Q.S. Al Israa’: 31). 

Sekarang pun masih banyak beranggapan bahwa anak laki-laki lebih utama daripada anak perempuan. Berikut adalah beberapa hadits yang disuguhkan Yusuf Qardhawi tentang keutamaan anak perempuan dalam buku ini.

  • Dari Anas, Muslim meriwayatkan: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang memberi nafkah dan melindungi dua budak perempuan hingga mereka dewasa, pada hari Perhitungan kelak, ia dan aku akan dekat (dan kemudian menempelkan kedua jarinya).” Sabda ini diungkapkan kembali oleh Tirmidzi.
  • Ibnu abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang diperlakukan dengan baik ketika mereka mendampinginya atau ketika ia mendampingi mereka, akan disambut disurga.”
  • Dari abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan dan sabar dalam menjaga, dalam suka maupun duka, Allah memasukkannya ke surga karena belas kasihnya kepada mereka.” Seorang laki-laki bertanya, “Bagaimana dengan dua anak perempuan, ya Utusan Allah?” Rasul menjawab, “Demikian juga dua anak perempuan” Yang lainnya bertanya, “Ya Utusan Allah, bagaimana dengan satu anak perempuan?” Nabi bersabda, “Demikian juga dengan seorang anak perempuan.”
  • Ibnu Abbas mencatat, ”Barangsiapa yang memiliki seorang anak perempuan yang tidak dikuburkan dan dihina olehnya dan tidak lebih mengutamakan anak laki-lakinya dibanding anak perempuannya, Allah akan memasukkannya ke surga.”
  • Dalam cerita Aisyah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengalami kecelakaan karena menjaga anak-anak gadisnya, namun masih tetap memperlakukan mereka dengan baik, anak-anak perempuan itu akan menjadi perlindungan baginya dari api neraka.”
  • Ungkapan Rasulullah SAW tentang putrinya, Fatimah: “Fatimah adalah bagaian diriku, apa yang membuatnya marah, akan membuatku marah.”  (HR Bukhari) Dan, “Fatimah adalah bagian diriku, apa yang membuatku sedih akan membuatnya sedih, dan apa yang membuatku gembira, membuatnya gembira pula.” (HR Ahmad, at Tabrani dan Al Hakim) Dan, “Tentu saja puteriku adalah bagian dari diriku, aku menakuti apa yang menakutkannya, dan aku terluka karena apa yang melukainya.” (HR keenam periwayat hadits)

Lebih lanjut, Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa kendali Bapak terhadap anak perempuannya sama dengan anak laki-lakinya yaitu tidak melebihi batas-batas pendidikan moral. Dalam hal menikahkan pun harus dengan persetujuan anak perempuannya. Selanjutnya juga disajikan beberapa pendapat tentang sahnya pernikahan dengan tanpa wali.

Perempuan sebagai Istri

Pernikahan dalam Islam merupakan salah satu tanda-tanda dan bukti Allah di alam semesta seperti yang telah termaktub dalam Q.S. Ar Ruum ayat 21. Islam melarang umatnya mengasingkan diri dari dunia yang kemudian tidak menikah. Hal ini dipertegas dengan hadits nabi, “Kalianlah orang yang memutuskan hal seperti itu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut pada Allah di antara kamu, yang paling takwa, namun aku berpuasa dan berbuka, aku bangun di malam hari untuk menyembah Allah dan aku tidur, dan aku menikah. Barangsiapa yang tidak mengikuti caraku (sunnah), ia bukanlah ummatku.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lantas dengan pernikahan kedudukan perempuan otomatis menjadi seorang istri. Tradisi kuno yang sampai saat ini masih ada menganggap bahwa perempuan diciptakan oleh setan, alat pemuas laki-laki, seorang koki dan seorang pelayan. Namun tidak demikian dalam Islam, Rasulullah SAW nerkata kepada Umar, “Maukah kukatakan padamu harta terbaik yang dapat dimiliki seorang laki-laki? Itulah istri yang baik. Jika laki-laki itu memandangnya, ia memberinya kebahagiaan; jika laki-laki itu memerintahkannya ia menuruti; dan jika laki-laki itu jauh darinya, ia tetap setia kepadanya.”  (HR Abu Daud dan Al Hakim) Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang dianugerahi seorang istri yang baik, ia telah dibantu menaati setengah agamanya, dan biarlah dia mematuhi Allah dengan separuh bagian lainnya.” (HR Al Hakim).

Hak perempuan sebagai seorang Istri yang pertama adalah mahar sebagai sebuah lambang dari hasrat laki-laki untuk menikahi dan menginginkan wanita tersebut. Merujuk pada Q.S. An Nisaa’ ayat 41 mahar yang diberikan harus diberikan dengan penuh kerelaan dengan artian sebagai penekanan bahwa mahar tersebut sebagai sebuah hadiah bukan sebagai suatu harga atau pembayaran kesenangan. Hak selanjutnya sebagai seorang istri selain mendapatkan perlindungan yakni perlindungan dengan jaminan keimanan dan ketakwaan seorang muslim, nurani masyarakat dan kesadarannya dan hukum beserta kepatuhannya terhadap hukum tersebut.

Hak perempuan selanjutnya adalah pemeliharaan. Rasulullah SAW bersabda, “Engkau diwajibkan memberi mereka makanan dan pakaian secara terhormat.” (HR Abu Daub, Ibnu Majah, Ad Daramy dan Ahmad). Hak ketiga adalah tinggal bersama secara terhormat. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perkejaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An Nisaa’: 19). Perempuan memiliki hak sebanyak kewajiban yang dikerjakan. Di sisi lain, perempuan yang berperan sebagai istri memiliki kemerdekaan dibuktikan dengan tidak memberikan nama suami mereka di belakang namannya. Keanggotaan di masyarakat pun tidak terhapus melalui pernikahan dan dapat melakukan akad jual beli, sewa menyewa, mewakafkan hartanya, bersedekah, dan sebagainya.

Perceraian

Menurut Yusuf Qardhawi satu dari dua permasalahan utama yang sering diserang oleh kaum orietalis terkait kedudukan perempuan dalam Islam adalah masalah perceraian. Yang menjadi permasalahan disni menurutnya bukanlah hukum Islam tetapi kesalahpahaman menafsirkan hukum tersebut dan keliru dalam pengaplikasiannya. Diriwayatkan Abu Daud, “Perbuatan halal yang paling dibensi Allah adalah perceraian.” Lalu, kenapa pertanyaaannya kenapa perceraian dalam Islam diundang-undangkan? Yusuf Qardhawi menganalogikan perceraian ibarat operasi bedah yang menyakitkan. Tubuh harus menahan rasa sakit dan mengamputasi bagian tubuh ditujukan untuk bagian-bagian tubuh lain untuk menghindari cedera tubuh yang lebih parah. Jika sudah merasa tidak nyaman satu sama lain dan tidak saling mempercayai, tidak wajar untuk hidup berdampingan.

Yusuf Qardhawi kemudian memaparkan bagaimana membatasi lingkaran perceraian, sebagai berikut.

  • Memilih pasangan yang baik diutamakan agamanya di atas kekayaan, kecantikan dan keturunanannya.
  • Memastikan penilaian pasangan sebelum akad karena  ia akan menghabiskan sisa hidupnya bersama.
  • Persetujuan seorang perempuan atas yang melamarnya adalah suatu syarat pernikahan.
  • Persetujuan wali harus diperhatikan dan dipertimbangkan sehingga pernikahan tidak meninggalkan ketidakpuasan dengan kaumnya yang dikhawatirkan menyebabkan kerenggangan antara calon istri dan keluarganya.
  • Demi kepuasan semua pihak dan kokohnya landasan pernikahan diharapkan bermusyawarah dengan para ibu menyangkut pernikahan putrinya.
  • Hak dan kewajiban suami istri harus diperjelas agar memiliki kesepemahaman yang sama dalam melaksanakan hukum Islam. Dan harus dapat membujuk pasangan bersikap rasional dengan tidak menuntut kesempurnaan.
  • Penalaran dan pertimbangan lebih diutamakan bagi suami jika ia merasakan kebencian terhadap istrinya dan mempertimbangkan kebahagiaan semua pihak.
  • Menasihati dan mendidik istri dengan bijaksana yakni tegas tanpa kekerasan dan bersabar dengan melakukannya sedikit demi sedikit.
  • Masyarakat harus turut andil jika terjadi keretakan rumah tangga di lingkungannya dengan menjadi penengah.

Sempurnanya hukum Islam terlihat dari bagaimana mempertahankan tatanan kehidupan masyarakat dimulai dari masyarakat terkecil yaitu keluarga. Setelah terjadinya perceraian, banyak hal yang harus diperhatikan dan juga menjadi pertimbangan bagi yang bercerai. Perceraian dalam Islam memberikan dua kesempatan untuk kembali rujuk dan memperbaiki keadaan. Dan perceraian ketiga menentukan mereka dengan tidak dapat rujuk kembali kecuali mantan istrinya telah menikah dan kemudian menjanda. Dan ketika perceraian terjadi, yang harus diperhatikan bagi mantan suami adalah hak nafkah mantan istri selama masa ‘iddah juga perempuan memiliki hak untuk menentukan jumlah harta yang ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat.

Yusuf Qardhawi juga menanggapi pertanyaan lain yang sering dilontarkan dalam masalah perceraian yaitu talak yang dapat dilakukan oleh laki-laki. Jawabannya adalah karena laki-laki yang membayar mahar yang kemudian bertanggung jawab atas keluarga dan menjadi tulang punggung keluarga. Dengan tanggung jawabnya tersebut dia akan membangun kemapanan rumah tangga di pundaknya sendiri sehingga sulit untuknya meruntuhkan kemapanan yang ia bangun keculai dengan alasan yang kuat. Yusuf Qardhawi selanjutnya membandingkan dengan keputusan perceraian oleh pengadilan yang terjadi di Barat, menurutnya hal tersebut tidak dapat mewakili kemauan dari pihak suami maupun istri. Yusuf Qardhawi kemudian menjelaskan bagaimana caranya perempuan dapat megupayakan perceraian yakni dengan kemauan sendiri, membayar tebusan, perceraian dengan dua penengah, dikarenakan ketidakmampuan jasmani dan cedera.

Beristri Lebih dari Satu

Menurut Yusuf Qardhawi, permasalahan mengenai perempuan yang sering diserang orientalis adalah poligami dimana mereka beranggapan poligami merupakan ibadah wajib dalam Islam. Padahal seorang laki-laki di dalam Islam sebenarnya disarankan memiliki istri hanya satu (Q.S. An Nisaa’: 129) karena ditakutkan tidak adil dan Allah menegaskan bahwasanya tidak akan bisa adil, oleh karenanya seorang laki-laki yang berpoligami tidak boleh cenderung ke salah satunya. Mereka menyerang masalah ini seakan-akan Islam adalah agama yang pertama kali membolehkan poligami. Jauh sebelum Islam datang, baik negara ataupun agama banyak yang membolehkan poligami bahkan tanpa syarat.

Kebijaksanaan poligami menurut Yusuf Qardhawi lebih didasari oleh faktor biologis laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki hasrat yang lebih panjang daripada perempuan belum lagi di setiap bulan ada perempuan yang memiliki periode haid dalam waktu yang lama. Namun untuk alasan kuantitas laki-laki dan perempuan saya rasa alasan Yusuf Qardhawi kurang tepat. Karena populasi dunia saat ini antara laki-laki dan perempuan berimbang.

Poligami merupakan hukum Islam bermoral, tegas Yusuf Qardhawi. Menurutnya, ada akad (perjanjian) yang diumumkan di khalayak terbatas terkait pembagian waktu untuk istri-istrinya sehingga hubungan seksual yang dilakukan tidak dengan perempuan manapun yang dikehendakinya, tidak dengan waktu yang diinginkan suami dan tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selain itu hubungan seksual tidak dilakukan dilakukan lebih dari satu orang dalam satu waktu dan tempat dengan istri-istrinya. Pernikahan harus dicatat dalam pengadilan agama dan diadakan walimahan. Lebih lanjut, menurutnya poligami merupakan hal yang manusiawi karena mengurangi beban masyarakat untuk melindungi dan memfasilitasi perempuan. Alasan lainnya disebut manusiawi adalah terpenuhinya syarat sah pernikahan dan menjalankan bahtera rumah tangga sebagaimana mestinya. Lebih tidak bermoral dan manusiawi jika hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah pergaulan bebas. Disini yang lebih dirugikan adalah perempuan karena hasil dari hubungan yang tidak jelas secara hukum, tidak ada yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memberikan nafkah. Dapat disimpulkan bahwasanya yang menjadi permasalahan bukanlah hukum poligami tapi orang yang menerapkan poligami tidak menjalankan apa yang menjadi syarat berpoligami.

Perempuan Sebagai Anggota Masyarakat

Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hubungan kemitraan dalam memikul tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. At Taubah: 71). Pun dalam hadits “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” perempuan memperoleh hak yang sama seperti halnya laki-laki dalam hal menambah ilmu pengetahuan untuk memperbaiki perbuatan-perbuatannya, ibadahnya dan berijtihad. Bahkan dicontohkan pula para istri sahabat mendatangi Rasulullah untuk bertanya terkait dengan apa yang tidak diketahui. Terkait shalat berjamaah perempuan lebih baik di rumah namun juga tidak dilarang untuk pergi ke masjid sesuai hadits, “Janganlah melarang perempuan-perempuan Allah pergi ke masjid-masjid Allah” (HR. Ahmad & Al Hakim).

Yusuf Qardhawi juga memberikan contoh para ummahatul mukminin dan shahabiyah yang menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat untuk keluar rumah melaksanakan perintah untuk diri sendiri, suami atau anak-anaknya di kebun atau di pasar; mendampingi tentara untuk memberi pertolongan pertama, tugas-tugas perawatan serta pelayanan medis, meyiapkan makanan dan memberikan motivasi dalam berperang kepada prajurit atau jika dalam keadaan khusus dapat ikut berperang. Pada akhir bab Yusuf Qardhawi memaparkan dampak bahayanya seorang perempuan yang terlibat dalam pekerjaan laki-laki tanpa batasan atau atura dan juga memberikan gambaran kapan seorang perempuan harus bekerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *